Tuhan
Maha Adil
Fata Hudaya
Segala puji bagi Allah Tuhan
Semesta Alam yang telah menciptakan manusia dengan akal pikiran, nyawa, dan
segala yang melengkapinya. Segala puji juga selayaknya manusia hanturkan kepada
pencipta langit dan bumi, Dzat yang telah meyediakan oksigen secara cuma-cuma,
energi matahari secara gratis, dan berbagai kesempatan tanpa menuntut bayaran.
Manusia
diciptakan Tuhan berasal dari saripati tanah, malaikat dari cahaya, sedangkan
kelompok Jin tercipta dari api tanpa asap. Setiap ciptaan Tuhan tersebut pasti
memiliki perbedaan karakter dan kemampuan. Manusia memiliki karakternya sendiri
begitupun malaikat, Jin, dan makhluk Tuhan yang lain. Kemampuan dan karakter
yang melekat pada manusia baik itu buruk maupun sebaliknya adalah fitrah
penciptaan yang harus diterima dan disyukuri. Sebagian kelompok manusia ada
yang terlahir dalam keadaan berada ada juga dalam keadaan kekurangan, ada yang
cerdas namun ada juga yang tidak terlalu pandai dan sebagainya. Perbedaan
kemampuan dasar pada manusia adalah fitrah yang benar. Allah berfirman dalam
Alquran, “Boleh jadi kamu menyukai suatu perkara, tetapi perkara itu adalah
amat buruk bagimu dan boleh jadi kamu membenci suatu perkara, namun perkara itu
sesungguhya amat baik bagimu.”
Segala sesuatu
yang dipertimbangkan manusia belum tentu sebuah kebenaran. Manusia memiliki
batas yang amat jelas yang membedakannya dengan Tuhan, yaitu tingkat
pengetahuannya. Pengetahuan Tuhan sangat tidak terbatas sementara pengetahuan
manusia amat terbatas. Tuhan yang menciptakan alam ini dengan segala
pernak-pernik, hitam-putih, dan berbagai warna yang menghiasi, sementara
manusia hanya mengamati dan menyimpulkan berdasarkan (keterbatasan) pegetahuan
yang ada padanya. Boleh jadi Tuhan menciptakan putih, namun hitamlah yang
nampak dalam padangan manusia atau menciptakan putih, namun hitamlah yang
nampak dalam pandangan manusia, begitulah keterbatasan manusia yang seringkali
menganggap pertimbangan dan pegetahuannya mutlak benar.
Sekarang dapat
kita lihat betapa salahnya persepsi manusia yang menyatakan Tuhan tidak adil,
Tuhan melebihkan suatu kaum di atas kaum yang lain, dan persepsi-persepsi buram
lainnya. Tuhan tetaplah Maha Adil dengan segala keputusan yang diambil-Nya.
Tuhan memang melebihkan harta bagi seorang kaya di atas orang miskin, namun
meletakkan tanggung jawab yang lebih besar pula di pundaknya (kewajiban zakat
misalnya). Tuhan juga melebihkan kecerdasan kepada seorang cendekiawan
dibadingkan seorang dungu juga dengan tanggung jawab tambahan, yaitu kewajiban
mengamalkan ilmunya untuk kemashlahatan.. Orang kaya akan memiliki potensi
lebih besar untuk menjadi orang tamak dan sombong dibandingkan orang miskin,
orang kaya juga akan mendapat dosa bila tidak menunaikan zakat. Hal ini berlaku
pula terhadap seorang cendekiawan yang juga memiliki potensi lebih besar
berbuat dosa karena dimungkinkan berlaku sombong atas ilmu yang dimilikinya
sementara seorang dungu tidak memiliki ilmu untuk disombongkan. Tuhan Maha Adil.
Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’du: 11 yang
artinya,”Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah
nasibnya sendiri.” Tuhan berpesan dalam ayat ini bahwa apa yang ada pada diri
manusia saat dia lahir entah itu kondisi material, fisik, dan mental merupakan
modal dasar yang diberikan Tuhan dan dapat dikembangkan oleh manusia dengan
kerja keras. Jika manusia terlahir dalam keadaan miskin, maka tidak ada
kewajiban baginya untuk terus hidup miskin sampai mati sebaliknya manusia harus
berupaya untuk menjadi orang kaya. Orang bijak pernah berkata, “Bukan salahmu
jika kamu terlahir dalam keadaan miskin tetapi salahkanlah dirimu ketika kamu
mati dalam kemiskinan.” Janganlah takut terlahir dalam keadaan miskin karena kemiskinan sejatinya merupakan ‘ sekolah
untuk menjadi kaya’. Pun juga bagi seorang bodoh, Tuhan tidak meciptakan
manusia dalam keadaan bodoh, tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia dalam
keadaan bodoh sementara jalan hidup yang diridhoi-Nya( agama islam) hanya bisa
dipahami oleh seorang yang cerdas. Suri tauladan manusia pun (Rasul Muhammad
saw.) memiliki sifat fathanah yang wajib melekat pada dirinya sebagai hujjah
menghadapi orang-orang kafir. Jadi, tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia
dalam kondisi bodoh. Tuhan menciptakan
manusia dalam keadaan tidak mengetahui, bukan bodoh. Maka dari itu Tuhan
mewajibkan bagi setiap hamba-Nya untuk menuntut ilmu agar menjadi manusia
berilmu dan mampu memahami kebenaran jalan hidup yang dibuat-Nya. Adapun dalam
proses menuntut ilmu manusia harus bersabar dan terus bekerja keras. Ilmu pengetahuan
memiliki banyak jalan untuk masuk ke dalam kepala penuntutnya, ada yang melalui
jalan mendengarkan (audio), melihat (visual), merasakan, mengalami atau melalui
kombinasi dari beberapa jalan. Manusia kadang merasa bodoh manakala tidak mampu
menyerap ilmu pengetahuan melalui suatu jalur umum yang biasa dipakai
kebanyakan manusia. Mereka merasa bodoh hingga berujung kepada keputusasaan,
padahal sebenarnya jalur yang digunakan oleh kebanyakan manusia dalam menyerap
ilmu tidak cocok sama sekali dengannya. Misalkan seorang pelajar A bertipe
audio yang hidup di lingkungan kelas dengan tipe pelajar mayoritas visual tentu
saja akan kalah bersaing jika seluruh informasi disuguhkan secara visual, dalam
lingkungan seperti itu boleh jadi pelajar A menjadi murid ‘bodoh’ dalam kelas
tersebut, tapi coba banyangkan bila seluruh informasi yang disampaikan diubah
dalam bentuk audio, maka boleh jadi pelajar A menjadi murid terpadai di
kelasnya. Terminologi bodoh dan tidak bodoh hanyalah sebuah ukuran
seseorang mampu atau tidak mampu mengenali diri dan berani atau tidak berani melawan
arus mayoritas.
Lalu bagaimana
dengan manusia yang terlahir dalam kondisi fisik yang kekurangan? apakah Tuhan
masih dikatakan adil dengan menciptakan manusia dengan kondisi seperti itu? Tentu
saja jawabannya YA!! Perlu ditekankan hakikat keilmuawan manusia sangatlah
terbatas berbeda dengan keilmuawan Tuhan. Tuhan meciptakan manusia dengan mata
yang buta mungkin dimaksudkan untuk melindungi orang tersebut dari pandangan
yang dimurkai. Tuhan juga menciptakan manusia tanpa kaki mungkin dimaksudkan
untuk melindungi orang tersebut dari tempat-tempat maksiat. Siksaan (kebutaan)
orang buta di dunia mungkin lebih ringan dibandingkan dengan siksaan di akhirat
bagi orang-orang yang tidak bisa menjaga matanya. Begitu juga dengan orang yang
tidak memiliki kaki, Tuhan sedang berusaha meghindarkan makhluk-Nya dari
siksaan akhirat yang jauh lebih pedih daripada kepedihan kecacatan di dunia.
Manusia selayaknya berhati-hati dalam menafsirkan kehendak Tuhan. Jangan pernah
menafsirkan kasih sayang sebagai suatu kebencian dan ketidakadilan. Mungkin itu
jugalah yang menjadi sebab mengapa Tuhan menurunkan Al-Quran agar manusia dapat
memahami maksud dari berbagai keputusan Tuhan yang berlaku di dunia atau dengan
kata lain Al-Quran sebagai jembatan antara mata manusia dengan ‘mata’ Tuhan.
Tuhan
menciptakan berbagai kekurangan yang melekat pada diri manusia bukan karena
Tuhan benci kepada ciptaan-Nya namun lebih karena Tuhan menyayangi
hamba-hamba-Nya. Kekurangan-kekurangan pada diri manusia selayaknya
diverifikasi kebenarannya apakah itu memang benar sebuah kekurangan atau sebuah
kelebihan yang disalahtafsirkan. Bila itu merupakan kekurangan maka, janganlah
berputus asa karena rahmat Tuhan begitu luas sementara bila itu merupakan
kelebihan, maka janganlah menyombongkan diri dan gunakanlah kelebihan untuk
memperbayak manfaat bagi sesama.