Jumat, 22 Mei 2015

Tuhan Maha Adil
Fata Hudaya 
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah menciptakan manusia dengan akal pikiran, nyawa, dan segala yang melengkapinya. Segala puji juga selayaknya manusia hanturkan kepada pencipta langit dan bumi, Dzat yang telah meyediakan oksigen secara cuma-cuma, energi matahari secara gratis, dan berbagai kesempatan tanpa menuntut bayaran.

Manusia diciptakan Tuhan berasal dari saripati tanah, malaikat dari cahaya, sedangkan kelompok Jin tercipta dari api tanpa asap. Setiap ciptaan Tuhan tersebut pasti memiliki perbedaan karakter dan kemampuan. Manusia memiliki karakternya sendiri begitupun malaikat, Jin, dan makhluk Tuhan yang lain. Kemampuan dan karakter yang melekat pada manusia baik itu buruk maupun sebaliknya adalah fitrah penciptaan yang harus diterima dan disyukuri. Sebagian kelompok manusia ada yang terlahir dalam keadaan berada ada juga dalam keadaan kekurangan, ada yang cerdas namun ada juga yang tidak terlalu pandai dan sebagainya. Perbedaan kemampuan dasar pada manusia adalah fitrah yang benar. Allah berfirman dalam Alquran, “Boleh jadi kamu menyukai suatu perkara, tetapi perkara itu adalah amat buruk bagimu dan boleh jadi kamu membenci suatu perkara, namun perkara itu sesungguhya amat baik bagimu.”

Segala sesuatu yang dipertimbangkan manusia belum tentu sebuah kebenaran. Manusia memiliki batas yang amat jelas yang membedakannya dengan Tuhan, yaitu tingkat pengetahuannya. Pengetahuan Tuhan sangat tidak terbatas sementara pengetahuan manusia amat terbatas. Tuhan yang menciptakan alam ini dengan segala pernak-pernik, hitam-putih, dan berbagai warna yang menghiasi, sementara manusia hanya mengamati dan menyimpulkan berdasarkan (keterbatasan) pegetahuan yang ada padanya. Boleh jadi Tuhan menciptakan putih, namun hitamlah yang nampak dalam padangan manusia atau menciptakan putih, namun hitamlah yang nampak dalam pandangan manusia, begitulah keterbatasan manusia yang seringkali menganggap pertimbangan dan pegetahuannya mutlak benar.

Sekarang dapat kita lihat betapa salahnya persepsi manusia yang menyatakan Tuhan tidak adil, Tuhan melebihkan suatu kaum di atas kaum yang lain, dan persepsi-persepsi buram lainnya. Tuhan tetaplah Maha Adil dengan segala keputusan yang diambil-Nya. Tuhan memang melebihkan harta bagi seorang kaya di atas orang miskin, namun meletakkan tanggung jawab yang lebih besar pula di pundaknya (kewajiban zakat misalnya). Tuhan juga melebihkan kecerdasan kepada seorang cendekiawan dibadingkan seorang dungu juga dengan tanggung jawab tambahan, yaitu kewajiban mengamalkan ilmunya untuk kemashlahatan.. Orang kaya akan memiliki potensi lebih besar untuk menjadi orang tamak dan sombong dibandingkan orang miskin, orang kaya juga akan mendapat dosa bila tidak menunaikan zakat. Hal ini berlaku pula terhadap seorang cendekiawan yang juga memiliki potensi lebih besar berbuat dosa karena dimungkinkan berlaku sombong atas ilmu yang dimilikinya sementara seorang dungu tidak memiliki ilmu untuk disombongkan. Tuhan Maha Adil.

            Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’du: 11 yang artinya,”Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasibnya sendiri.” Tuhan berpesan dalam ayat ini bahwa apa yang ada pada diri manusia saat dia lahir entah itu kondisi material, fisik, dan mental merupakan modal dasar yang diberikan Tuhan dan dapat dikembangkan oleh manusia dengan kerja keras. Jika manusia terlahir dalam keadaan miskin, maka tidak ada kewajiban baginya untuk terus hidup miskin sampai mati sebaliknya manusia harus berupaya untuk menjadi orang kaya. Orang bijak pernah berkata, “Bukan salahmu jika kamu terlahir dalam keadaan miskin tetapi salahkanlah dirimu ketika kamu mati dalam kemiskinan.” Janganlah takut terlahir dalam keadaan miskin karena kemiskinan sejatinya merupakan ‘ sekolah untuk menjadi kaya’. Pun juga bagi seorang bodoh, Tuhan tidak meciptakan manusia dalam keadaan bodoh, tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan bodoh sementara jalan hidup yang diridhoi-Nya( agama islam) hanya bisa dipahami oleh seorang yang cerdas. Suri tauladan manusia pun (Rasul Muhammad saw.) memiliki sifat fathanah yang wajib melekat pada dirinya sebagai hujjah menghadapi orang-orang kafir. Jadi, tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi bodoh. Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan tidak mengetahui, bukan bodoh. Maka dari itu Tuhan mewajibkan bagi setiap hamba-Nya untuk menuntut ilmu agar menjadi manusia berilmu dan mampu memahami kebenaran jalan hidup yang dibuat-Nya. Adapun dalam proses menuntut ilmu manusia harus bersabar dan terus bekerja keras. Ilmu pengetahuan memiliki banyak jalan untuk masuk ke dalam kepala penuntutnya, ada yang melalui jalan mendengarkan (audio), melihat (visual), merasakan, mengalami atau melalui kombinasi dari beberapa jalan. Manusia kadang merasa bodoh manakala tidak mampu menyerap ilmu pengetahuan melalui suatu jalur umum yang biasa dipakai kebanyakan manusia. Mereka merasa bodoh hingga berujung kepada keputusasaan, padahal sebenarnya jalur yang digunakan oleh kebanyakan manusia dalam menyerap ilmu tidak cocok sama sekali dengannya. Misalkan seorang pelajar A bertipe audio yang hidup di lingkungan kelas dengan tipe pelajar mayoritas visual tentu saja akan kalah bersaing jika seluruh informasi disuguhkan secara visual, dalam lingkungan seperti itu boleh jadi pelajar A menjadi murid ‘bodoh’ dalam kelas tersebut, tapi coba banyangkan bila seluruh informasi yang disampaikan diubah dalam bentuk audio, maka boleh jadi pelajar A menjadi murid terpadai di kelasnya. Terminologi  bodoh dan tidak bodoh hanyalah sebuah ukuran seseorang mampu atau tidak mampu mengenali diri dan berani atau tidak berani melawan arus mayoritas.

Lalu bagaimana dengan manusia yang terlahir dalam kondisi fisik yang kekurangan? apakah Tuhan masih dikatakan adil dengan menciptakan manusia dengan kondisi seperti itu? Tentu saja jawabannya YA!! Perlu ditekankan hakikat keilmuawan manusia sangatlah terbatas berbeda dengan keilmuawan Tuhan. Tuhan meciptakan manusia dengan mata yang buta mungkin dimaksudkan untuk melindungi orang tersebut dari pandangan yang dimurkai. Tuhan juga menciptakan manusia tanpa kaki mungkin dimaksudkan untuk melindungi orang tersebut dari tempat-tempat maksiat. Siksaan (kebutaan) orang buta di dunia mungkin lebih ringan dibandingkan dengan siksaan di akhirat bagi orang-orang yang tidak bisa menjaga matanya. Begitu juga dengan orang yang tidak memiliki kaki, Tuhan sedang berusaha meghindarkan makhluk-Nya dari siksaan akhirat yang jauh lebih pedih daripada kepedihan kecacatan di dunia. Manusia selayaknya berhati-hati dalam menafsirkan kehendak Tuhan. Jangan pernah menafsirkan kasih sayang sebagai suatu kebencian dan ketidakadilan. Mungkin itu jugalah yang menjadi sebab mengapa Tuhan menurunkan Al-Quran agar manusia dapat memahami maksud dari berbagai keputusan Tuhan yang berlaku di dunia atau dengan kata lain Al-Quran sebagai jembatan antara mata manusia dengan ‘mata’ Tuhan.

Tuhan menciptakan berbagai kekurangan yang melekat pada diri manusia bukan karena Tuhan benci kepada ciptaan-Nya namun lebih karena Tuhan menyayangi hamba-hamba-Nya. Kekurangan-kekurangan pada diri manusia selayaknya diverifikasi kebenarannya apakah itu memang benar sebuah kekurangan atau sebuah kelebihan yang disalahtafsirkan. Bila itu merupakan kekurangan maka, janganlah berputus asa karena rahmat Tuhan begitu luas sementara bila itu merupakan kelebihan, maka janganlah menyombongkan diri dan gunakanlah kelebihan untuk memperbayak manfaat bagi sesama.

Minggu, 08 Februari 2015

MADEBA 11

Aku tak pernah meminta tercipta, tapi mengapa Engkau menciptakanku? lantas ketika aku tercipta Engkau tumpahkan begitu banyak kewajiban dan setumpuk larangan padahal aku tak pernah meminta diciptakan. Tidak hanya itu saja, Kau pun tak meminta persetujuanku atas dimana aku tercipta, dalam keluarga kaya’kah atau sebaliknya, dalam keluarga seorang pejabat’kah atau dalam lingkungan rakyat jelata. Jikalau boleh memilih antara tercipta dan tidak, mungkin aku akan memilih tidak tercipta. Dengan ketiadaanku aku takkan pernah merasakan sakit, sedih, kekurangan dan sebagainya karena aku adalah nol, tidak ada, tak mampu mendefinisikan apapun dan tak dapat merasakan apapun. Jikalau demikian adanya, masih bolehkah Kau dikatakan adil? Aku terus menerus menghujat diri-Mu atas semua yang kuanggap ‘ketidakadilan’ yang Kau lakukan, hingga suatu malam aku tersadar. Memang Kau menciptakanku di dunia ini tak sedikitpun meminta persetujuan dariku, memang Kau terlihat tak adil dilihat dari sisi ini, tapi aku tak boleh lupa, Kau juga menciptakan tempat tujuan berikutnya yang ditentukan oleh keputusanku sendiri, Kau menyebutnya akhirat. Kau memberi kebebasan kepadaku untuk masuk satu di antara dua pintu, pintu kenikmatan atau pintu kesakitan. Engkau Tuhan yang pada permulaan penciptaanku tak memberikan pilihan, namun setelah penciptaanku memberikan pilihan sepenuhnya kepadaku untuk memilih keputusan yang kukehendaki, mungkin inilah alasan mengapa aku harus meyakini engkau benar-benar adil dalam segala aspek kehidupan. Aku melihat dari sudut ini, mungkin berbeda dengan ciptaan-Mu yang lain.
MADEBA 10

Sering sekali manusia mengatakan bahwa sesuatu ini tak logis, tak masuk akal dan semacamnya, terlebih di dalam lingkungan akademisi yang cenderung menyandarkan segala urusan pada akal. Tetapi pernahkah terlintas dalam benak, mungkin saja sesuatu yang dianggap tidak logis oleh akal pikiran manusia adalah logis bagi tipe akal pikiran lain karena mungkin saja akal pikiran manusia adalah satu dari sekian banyak perangkat proses yang mungkin diciptakan Tuhan. Terkadang manusia merasa bahwa seluruh sistem alam semesta berjalan atas dasar akal pikiran manusia padahal mungkin saja tidak demikian. Mungkin akal pikiran manusia boleh saja menafsirkan fenomena jatuhnya benda ke bumi adalah sebagai fenomena gravitasi dengan rumusan F=mg padahal bisa saja terdapat perangkat proses lain yang menafsirkan jatuhnya benda ke bumi dengan hasil yang samasekali berbeda dengan yang ditunjukkan oleh perangkat proses yang dimiliki manusia, sehingga pada akhirnya sesuatu yang dikatakan tidak logis oleh akal pikiran manusia bisa saja merupakan hal yang sangat ‘logis’ bagi perangkat proses yang lain. Dengan berpikir demikian dapat dimengerti bahwa boleh saja sifat-sifat ketuhanan yang tertulis dalam kitab suci tidak logis menurut akal pikiran manusia contohnya sifat beranak dan tidak diperanakkan, tetapi bisa saja sifat itu memiliki hasil ‘sangat logis’ menurut perangkat proses lain karena mungkin saja perangkat proses yang dimiliki manusia hanyalah satu dari sekian perangkat proses yang mungkin diciptakan Tuhan.